Hampir semua pakar ekonomi Indonesia
memiliki kesadaran akan pentingnya moralitas kemanusiaan dan ketuhanan sebagai
landasan pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, mereka tidak mampu
meyakinkan pemerintah akan konsep-konsepdan teori-teori yang sesuai dengan
kondisi Indonesia. Bahkan tidak sedikit pakar ekonomi Indonesia yang mengikuti
pendapat atau pandangan pakar Barat (pakar IMF) tentang pembangunan ekonomi
Indonesia.Pilar Sistem Ekonomi Pancasila meliputi:
1.
ekonomika etik dan ekonomika humanistik (dasar),
2.
nasional ekonomi dan demokrasi (cara/metode
operasionalisasi), dan
3.
ekonomi berkeadilan sosial(tujuan).
Kontek stualisasi dan
implementasi Pancasila dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar
di atas dan juga dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan
oleh sistem ekonomi apapun. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
1.
Barang dan jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa
jumlahnya;
2.
Bagaimana pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan
3.
Untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan bagaimana
mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang perlu dilakukan adalah
perlu digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses
pendidikan dan keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu
ekonomi ini dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik, bukan sebaliknya
mengajarkan keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk
memuaskan kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang
mengedepankan kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia
ekonomi (homoekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai
makhluk sosial (homo socius), dan makhluk beretika (homo
ethicus).Relevan kah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat
dan ekonomi negara di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah
sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator
rendahnya inflasi (di bawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-),menurunnya suku
bunga (di bawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari
ideologi yang pernah “tercoreng”, dan tidak nampak
wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah
ekonomi (krisis 97) adalah karena “salah urus” dan bukannya “salah sistem”, apalagi di kait-kait kan dengan “salah ideologi” atau “salah teori” ekonomi. Tidak dapat
disangkal, KKN yang ikut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi
bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembang nya paham kapitalisme
disertai penerapan liberalisme ekonomi yang “kebablasan”. Akibatnya, kebijakan,
program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan
teori-teori kapitalisme-liberal.Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila, sebagai
“media” untuk mengenali
(detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal
Pancasila sebagaimana dimaksud dalam PembukaanUUD 1945 adalah dasar negara dari
negara kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten
dalam kehidupan bernegara.Pembangunan politik memiliki dimensi yang strategis
karena hampir semua kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari
keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan publik yang di keluarkan pemerintah
mengecewakan sebagian besar masyarakat.
Beberapa penyebab kekecewaan masyarakat,
antara lain:
1. kebijakan hanya dibangun atas dasar
kepentingan politik tertentu,
2. kepentingan
masyarakat kurang mendapat perhatian,
3. pemerintah dan
elite politik kurang berpihak kepada masyarakat,
4. adanya tujuan
tertentu untuk melanggengkan kekuasaan elite politik.
Keberhasilan pembangunan
politik bukan hanya dilihat atau diukur dari terlaksananya pemilihan
umum (pemilu) dan terbentuknya lembaga-lembaga demokratis seperti MPR,
Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan harus diukur dari kemampuan dan kedewasaan
rakyat dalam berpolitik. Persoalan terakhirlah yang harus menjadi prioritas
pembangunan bidang politik. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa
manusia adalah subjek negara dan karena itu pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan
karena tidak ada kemauan dari elite politik sebagai pemegang kebijakan publik
dan kegagalan pembangunan bidang politik selama ini.Pembangunan politik semakin
tidak jelas arahnya, manakala pembangunan bidang hukum mengalami kegagalan.
Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi tidak dapat ditegakkan oleh hukum.
Hukum yang berlaku hanya sebagai simbol tanpa memiliki makna yang berarti bagi
kepentingan rakyat banyak. Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik juga belum dapat
direalisasikan sebagaimanayang dicita-citakan. Oleh karena itu, perlu analisis ulang
untuk menentukan paradigma yang benar-benar sesuai dan dapat dilaksanakan
secara tegas dan konsekuen. Pancasila sebagai paradigma
pambangunan politik dan hukum kiranya tidak perlu dipertentangkan lagi.
Bagaimanakah melaksanakan paradigma tersebut dalam praksisnya? Inilah persoalan
yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan politik dan hukum di masa-masa
mendatang.
Apabila dianalisis,
kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa persoalan seperti:
1.Tidak
jelasnya paradigma pembangunan politik dan hukum karena tidak ada nya blue print.
2.Penggunaan
Pancasila sebagai paradigma pembangunan masih bersifat parsial.
3.Kurang berpihak pada
hakikat pembangunan politik dan hukum.
Prinsip-prinsip
pembangunan politik yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah
membawa implikasi yang luas dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia.
Pembangunan bidang ini boleh dikatakan telah gagal mendidik masyarakat agar
mampu berpolitik secara cantik dan etis karena lebih menekankan pada upaya
membangun dan mempertahankan kekuasaan. Implikasi yang paling nyata dapat
dilihat dalam pembangunan bidang hukum serta pertahanan dan keamanan. Pembangunan bidang hukum
yang didasarkan pada nilai-nilai moral (kemanusiaan) baru sebatas pada tataran
filosofis dan konseptual. Hukum nasional yang telah dikembangkan secra rasional
dan realistis tidak pernah dapat direalisasikan karena setiap upaya penegakan
hukum selalu dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh karena itu, tidak
berlebihan apabila pembangunan bidang hukum dikatakan telah mengalami
kegagalan. Sementara, pembangunan bidang pertahanan dan keamanan juga telah
menyimpang dari hakikat sistem pertahanan yang ingin dikembangkan seperti yang
dicita-citakan oleh para pendiri republik tercinta ini. Pembangunan pertahanan
dan keamanan lebih diarahkan untuk kepentingan politik, terutama
gunamempertahankan kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar