Pokok permasalahan etika
politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat dirumuskan dengan suatu
pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan
menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki
seseorang, dia harus berhadapat dengan tuntutan untuk
mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban menyatakan bahwa penguasa
memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak untuk menuntut
pertanggungjawaban.
Dalam etika politik, kekuatan
batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat. Rakyat dapat
merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa
penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistik melainkan ditunjang
oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan
mengorganisir orang banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancaman atau
sanksi nya terhadap mereka yang mau membangkang.
Kewibawaan penguasa yang
paling menyakinkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan
dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan, tantangan, perlawanan
dan kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya keselarasan
nampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram dan sejahtera.
Budi luhur penguasa nampak
dalam cara ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakekat
kekuasaan sendiri cara pemakaiannya secara halus. Kehalusan pemerintahan
diharapkan dapat mencapai keadaan sejahtera, adil dan tenteran dalam masyarakat
tanpa perlu memakai cara-cara kasar.
Penyusutan kekuasan seorang
penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena pamrih
menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin
atau hati nurani yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap
kekuatan-kekuatan alam semesta semakin berkurang sampai akhirnya ia kehilangan
kekuasaannya. Oleh sebab itulah sejarah telah membuktikan sekuat-kuatnya
seorang penguasa pada titik puncaknya, namun diakhirnya dia akan jatuh bagaikan
tidak bermaya. Maka oleh sebab itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa tidak berasal dari musuh di luar atau faktor
obyektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti
penguasa itu sendiri. Apabila ia menyelahgunakan kedudukkannya untuk memperkaya
diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu
juga kalu kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga
masyarakat demi keuntungan material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah
menguap hilang. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya
adalah keluhuran budinya.
Legitimasi kekuasaan meliputi:
a.
Legitimasi etis, yaitu
pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan negara) berdasarkan
prinsip-prinsip moral.
b.
Legitmimasi legalitas, yaitu
keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara dan
menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum
yang berlaku.
Tuntutan legalitas itu merupakan tuntutan etika politik. Namun,
legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis, karena legalitas
menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif). Padahal belum tentu bahwa hukum
yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh sebab itu, hukum dalam
kerangka etika politik adalah hukum yang
berkeadilan dengan fungsinya untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena
adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh
kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang
seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar