Rabu, 02 November 2016

Legitimasi Kekuasaan

Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat dirumuskan dengan suatu pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, dia harus berhadapat dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban menyatakan bahwa penguasa memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban.
Dalam etika politik, kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat. Rakyat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Wibawa penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistik melainkan ditunjang oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan mengorganisir orang banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancaman atau sanksi nya terhadap mereka yang mau membangkang.
Kewibawaan penguasa yang paling menyakinkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan, tantangan, perlawanan dan kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya keselarasan nampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram dan sejahtera.
Budi luhur penguasa nampak dalam cara ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakekat kekuasaan sendiri cara pemakaiannya secara halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat mencapai keadaan sejahtera, adil dan tenteran dalam masyarakat tanpa perlu memakai cara-cara kasar.
Penyusutan kekuasan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena pamrih menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan-kekuatan alam semesta semakin berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Oleh sebab itulah sejarah telah membuktikan sekuat-kuatnya seorang penguasa pada titik puncaknya, namun diakhirnya dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Maka oleh sebab itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa  tidak berasal dari musuh di luar atau faktor obyektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti penguasa itu sendiri. Apabila ia menyelahgunakan kedudukkannya untuk memperkaya diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu juga kalu kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga masyarakat demi keuntungan material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah menguap hilang. Jadi secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
Legitimasi kekuasaan meliputi:
a.       Legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan negara) berdasarkan prinsip-prinsip moral.
b.      Legitmimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-fungsi kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tuntutan legalitas itu  merupakan tuntutan etika politik. Namun, legalitas semata-mata tidak dapat menjamin legitimasi etis, karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif). Padahal belum tentu bahwa hukum yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh sebab itu, hukum dalam kerangka etika politik  adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar