Pada awal bulan Maret 1998 melalui sidang umum MPR, soeharto kembali menjadi
Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan kabinet pembangunan
VII. Namun kondisi bangsa dan negara pada saat itu semakin tidak kunjung
membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan dan masalah sosial semakin
menumpuk. Kondisi dan situasi seperti ini mengundang keprihatinan rakyat.
Memasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demokrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunnya harga sembako,
penghapusan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan turunnya Soeharto dari
kursi kepresidenananya. Semakin bertambah banyak aksi para mahasiswa
tersebut menyebabkan para aparat keamanan tampak kewalahan dan akhirnya
mereka harus bertindak tegas. Bentrokan
antara mahasiswa yang menuntut
reformasi dengan aparat keamanan tidak dapat dihindarkan.
Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa
Universitas Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan
tertembaknya empat mahasiswa hingga tewas, serta puluhan mahasiswa lainnya
mengalami luka – luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat
para mahasiswa untuk menggelar demonstrasi secara besar – besaran.
Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan
massal dan penjarahan yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan masyarakat. Dalam
kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 tersebut, sejumlah pertokoan menjadi sasaran amuk
massa, bahkan sampai kepada tingkat pembakaran toko-toko yang menelan korban
jiwa. Dalam peristiwa tersebut puluhan toko hancur dibakar massa dan isinya
dijarah massa serta ratusan orang mati terbakar.
Pada tanggal 17 Mei 1998 di hotel wisata, Jakarta, Nurcholish Madjid dalam
jumpa pers menggulirkan ide untuk mempercepat pemilu (paling lambat tahun
2000). Menteri Sekertaris Negara pada saat itu Saadillah Mursjid tertarik
dengan ide itu.
Pada tanggal 18 Mei
1998 pukul 15.00 WIB Saadillah mengundang Nurcholish Madjid ke kantor
Sekertaris negara untuk menjelaskan gagasannya. Pukul 15.30 WIB Harmoko sebagai
ketua MPR/DPR mengumumkan hasil rapat pimpinan DPR yang meminta agar Presiden
Soeharto secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri. Namun, pada
pukul 20.00 pernyataan ini dianulir oleh Jenderal Wiranto. Ia menyatakan bahwa
sikap dan pendapat Harmoko adalah sebagai pendapat individual meskipun
disampaikan secara kolektif. Pada pukul 20.30 Nurcholish Madjid bertemu dengan
Presiden Soeharto, ia mengatakan bahwa rakyat menghendaki Presiden Soeharto
untuk turun dari kursi kepresidenannya. Presiden Soeharto menanggapi dengan
menyatakan bersedia untuk mundur dan meminnta bertemu dengan tokoh dari
berbagai kalangan.
Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal itu
pula di Yogyakatra terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia
berkumpul di alun-alun utara kraton Yogyakarta menghadiri pisowanan ageng untuk
mendengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VII.
Inti dari isi maklumat itu adalah menganjurkan kepada seluruh masyarakat untuk
menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada tanggal 20 mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh – tokoh bangsa
Indonesia untuk dimintai pertimbangannya dalam rangka membentuk Dewan Reformasi
yang akan diketuain oleh Presiden Soeharto, namun mengalami kegagalan. Pada tanggal
itu pula gedung DPR/MPR semakin penuh sesak oleh para mahasiswa dengan tuntutan
tetap yaitu reformasi dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara Presiden
Soeharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden di hadapan ketua dan beberapa
anggota dari mahkamah agung. Pada tanggal itu pula, dan berdasarkan pasal 8 UUD
1945, Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk menggantikannya
menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung
dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, presiden RI dijabat oleh B.J. Habibie
sebagai presiden yang ke 3
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden RI B.J Habibie membentuk kabinet baru yang
dinamakan kabinet reformasi pembangunan. Pada tanggal ini pula Letjen
Prabowo Subianto dicopot dari jabatan Panglima Kostrad. Di Gedung DPR/MPR,
bentrokan hampir terjadi antara pendukung Habibie yang memakai simbol-simbol
dan atribut keagamaan dengan mahasiswa yang masih bertahan di Gedung DPR/MPR.
Mahasiswa menganggap bahwa Habibie masih tetap bagian dari Rezim Orde Baru.
Tentara mengevakuasi mahasiswa dari Gedung DPR/MPR ke Universitas Atma Jaya.
Pada tanggal 10 November 1998, diprakarsai oleh para mahasiswa yang tergabung
dalam Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), ITB Bandung,
Universitas Siliwangi, dan empat tokoh reformasi yaitu Abdurrahman Wahid, Amien
Rais, Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Megawati Soekarnoputri mengadakan dialog
nasional di rumah kediaman Abdurrahman Wahid, Ciganjur, Jakarta Selatan.
Dialog itu menghasilkan 8 butir kesepakatan, yaitu sebagai berikut:
1. Mengupayakan terciptanya
persatuan dan kesatuan nasional.
2. Menegakkan
kembali kedaulatan rakyat.
3. Melaksanakan
desentralisasi pemerintahan sesuai dengan otonomi daerah.
4. Melaksanakan
pemilu yang luber dan jurdil guna mengakhiri masa pemerintahan transisi.
5. Penghapusan
Dwifungsi ABRI secara bertahap
6. Mengusut
pelaku KKN dengan diawali pengusutan KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan
kroninya.
7. Mendesak
seluruh anggota Pam Swakarsa untuk membubarkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar