Legitimasi etis mempersoalkan
keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan
negara baik dari legislatif maupun
eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah
agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan
ke pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada zaman sekarang (modern) tuntutan legitimasi moral merupakan salah satu untuk
pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa negara hanya boleh
bertindak dalam batas-batas hukum, bahawa hukum harus menghormati hak asasi
manusia, begitu pula pelbagai penolakan terhadap kebijaksanaan politik tertentu,
seperti isu ketidak adilan sosial, semua berwujud tuntutan agar negara
melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah kalanagan paham agama
secara klasik membuat rumusan bahawa “kita
harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”.
Moralitas kekuasaan lebih
banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat.
Apabila masyarakatnya adalah masyarakat religius, maka ukuran apakah penguasan
itu memiliki etika politik tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh
masyarakatnya. Oleh sebab itu, pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan
oleh umat beragama adalah bahawa kekuasaan itu adalah amanah dari Allah dan
harus dipertanggung jawabkan kepadaNya kelak. Di samping terdapat juga ungkapan
dari tradisi masyarakat yang menyatakan
“raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah”. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari
kemuliaan dan kebaikan seseorang penguasa sangat ditentukan oleh masyarakatnya,
tentunya sikap masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam
masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, alat pengukur etika politik yang
dilaksanakan oleh penguasa ditentukan oleh nilai, moral dan norma yang
berkembang dalam masyarakat.
Pada hakikatnya kekuasaan
memiliki hati nurani, yaitu keadilan dan memakmuran rakyat, apabila kehilangan
hati nurani tersebut maka kekuasan yang terlihat perebutan kekuasaan
semata-mata yang dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki, cavi maki dan iri hati.
Sehingga kekuasaan akan merusak tatatan kerukuan hidup masyarakat. Apabila hati
nurani kekuasaan melekat pada nurani seorang penguasa, maka kekuasaan adalah
amat rakyat sehingga akan melahirkan martabat, harga diri dan rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar