Kajian ini dimulai dari Plato yang mengatakan bahwa matematika telah ada dipikiran kita sehingga dengan memikirkan matematika saja sudah menjadi landasan untuk mempelajari matematika. Namun pandangan dari Plato ini tidak langsung mendapat dukungan dari filosofis lain. Bahkan pertentangan berasal dari muridnya sendiri yaitu Aristoteles yang berpendapat bahwa matematika ada karena kita telah mengkaji terhadap benda-benda konkret yang ada di sekitar kita maka kita baru dikatakan belajar matematika dan menjadikannya sebagai landsan berfikir. Sedangkan menurut Brouwer bahwa intuisi manusia merupakan landasan berpikir matematikanya.
Dari kajian para filosofis tersebut akhirnya para filosofis pada zaman berikutnya berusaha memberikan pandangan mereka terhadap matematika. Menurut kaum rasionalis bahwa matematika diperoleh dari hasil kajian akal pikiran manusia sendiri. Sedangkan menurut John Locke dan Hume mengatakan bahwa matematika berasal dari pengalaman manusia itu sendiri. Sedangkan menurut Kaum Empiris bahwa matematika itu tidak hanya sekedar pengalaman inderawi tetapi merupakan proses generalisasi pengalaman-pengalaman.
Kajian terus berlanjut sampai terciptanya pandangan baru Imanuel Kant yang berpandangan matematika merupakan perpaduan pengalaman inderawi yang didukung oleh pemahaman pikiran kita. Pertentangan mengenai landasan matematika ini terus berlanjut. Pada akhir abad -19 muncul kajian dari Cantor yang mengatakan bahwa matematika berlandaskan himpunan. Pada abad ke-20 muncul kajian bahwa yang menjadi landasan matematik adalah logika. Sampai akhirnya muncul Kurt Golden yang menyatakan bahwa jika system matematika lengkap maka ia tidak konsisten dan jika system matematika konsisten maka ia tida lengkap.
Pertanyaan sederhana tentang “apakah matematika itu?”. Jawaban atas pertanyaan itu tidak tunggal. Namun demikian, beragamnya jawaban itu dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) aliran sesuai dengan hasil pemikiran para ahli (flsuf) yang sudah sejak abad 19 yang lalu memikirkannya. Ketiga aliran itu adalah: 1) Formalism, yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) seorang matematikawan Jerman. Bagi pengikut aliran ini, matematika merupkan sebuah pengethuan tentang struktur formal dari lambang (simbol). Aliran ini menekankan konsistensi matematika sebagai bahasa simbol; 2) Logicism, yang berpendapat bahwa semua matematika dapat diturunkan dari prinsip-prinsip logika. Dengan kata lain, aliran ini mengatakan bahwa matematika merupakan cara berpikir logis yang benar atau salahnya dapat ditentukan tanpa bukti empiris. Tokoh dalam aliran ini yang juga seorang ahli filsafat disamping matematikawan adalah Bertrand Russel (1872-1970) dan Alfred North Whitehead (1861-1947), berasal dari Inggris; 3)Intuisionism, dengan tokoh seorang matematkawan Belanda Luitzen Egbertus Jan Brouwer (1881-1966). Menurut pengikut aliran ini, matematika berasal dan berkembang didalam pikiran manusia. Aliran ini sejalan dengan pendapat Imanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa mateatika merupakan pengetahuan yang eksistensinya tergantung pada pengalaman.
Matematika memiliki objek kajian yang abstrk. Abstrak adalah suatu nilai terhadap konkrit, formal suatu nilai terhadap informal, objektif terhadap subjektif, pembenaran terhadap penemuan, rasionalitas terhadap intuisi, penalaran terhadap emosi, hal-hal umum terhadap hal-hal khusus, teori terhadap praktik, kerja dengan fikiran terhadap kerja dengan tangan, dan seterusnya. Kaum absolutis berpendapatbahwa niai yang mereka maksud adalah nilai yang melekat pada diri mereka yang berupa kebudayaan, jadi bukan nilai yang melekat secara implisist pada matematika.
Sementara, penemuan-penemuan matematika, hasil kerja para matematisi dan proses yang bersifat informal dipandang tidak demikian. Dengan pendekatan ini kaum absolutis membangun matematika yang dianggapnya sebagai netral dan bebas nilai. Dengan pendekatan ini mereka menetapkan kriteria apa yang dapat diterima dan tidak diterima. Hal-hal yang terikat dengan implikasi sosial dan nilai-nilai yang menyertainya, secara eksplisit, dihilangkannya. Tetapi dalam kenyataannya, nilai-nilai yang terkandung dalam hal-hal tersebut di atas, membuat masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan. Hal ini disebabkan karena mendasarkan pada hal-hal yang bersifat formal saja hanya dapat menjangkau pada pembahasan bagian luar dari matematika itu sendiri. Jika mereka berkehendak menerima kritik yang ada, sebetulnya pandangan mereka tentang matematika yang netral dan bebas nilai juga merupakan suatu nilai yang melekat pada diri mereka dan sulit untuk dilihat. Inggris dan negara-negara Barat pada umumnya, diperintah oleh kaum laki-laki berkulit putih dari kelas atas. Keadaan demikian mempengaruhi struktur sosial para matematisi di kampus-kampus suatu Universitas, yang kebanyakan didominasi oleh mereka.
Nilai-nilai mereka secara sadar dan tak sadar terjabarkan dalam pengembangan matematika sebagai bagian dari usaha dominasi sosial. Oleh karena itu agak janggal kiranya bahwa matematika bersifat netral dan bebas nilai, sementara matematika telah menjadi alat suatu kelompok sosial. Mereka mengunggulkan pria di atas wanita kulit putih di atas kulit hitam, masyarakat strata menengah di atas strata bawah. Dalam hal ini, yang paling mencolok adanya adanya stereotif gender yang menyebabkan kurangnya kesempatan yang sama bagi wanita untuk belajar matematika karena matematika dianggap pelajaran yang sulit dan keras sehingga hanya kaum laki-laki saja pada saat itu yang boleh belajar matematika, yang menjadi kriteria penilaiannya rendahnya hasil belajar dan partisipasi anak perempuan dalam belajar matematika. Hal inilah yang menciptakan ketidaksamaan gender dalam masyarakat.
Sebuah pendapat yang mengatakan, matematika hanya diperuntukkan untuk untuk suatu kelompok tertentu, misalnya kelompok kulit putih dari strata atas. Namun kritik demikian menghadapi beberapa masalah. Pertama, terdapat premis bahwa matematika bersifat netral. Kedua, terdapat pandangan yang tersembunyi bahwa pengajaran matematika juga dianggap netral. Sebelumnya telahditunjukkan bahwa setiap pembelajaran adalah terikat dengan nilai-nilai. Ketiga, ada anggapan bahwa keterlibatan berbagai kelompok masyarakat beserta nilainya dalam matematika adalah konsekuensi logisnya. Dan yang terakhir, sejarah menunjukkan bahwa matematika pernah merupakan alat suatu kelompok masyarakat tertentu. Kaum ‘social constructivits’ memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakekat dan sejarahnya.
Sebuah pendapat yang mengatakan, matematika hanya diperuntukkan untuk untuk suatu kelompok tertentu, misalnya kelompok kulit putih dari strata atas. Namun kritik demikian menghadapi beberapa masalah. Pertama, terdapat premis bahwa matematika bersifat netral. Kedua, terdapat pandangan yang tersembunyi bahwa pengajaran matematika juga dianggap netral. Sebelumnya telahditunjukkan bahwa setiap pembelajaran adalah terikat dengan nilai-nilai. Ketiga, ada anggapan bahwa keterlibatan berbagai kelompok masyarakat beserta nilainya dalam matematika adalah konsekuensi logisnya. Dan yang terakhir, sejarah menunjukkan bahwa matematika pernah merupakan alat suatu kelompok masyarakat tertentu. Kaum ‘social constructivits’ memandang bahwa matematika merupakan karya cipta manusia melalui kurun waktu tertentu. Semua perbedaan pengetahuan yang dihasilkan merupakan kreativitas manusia yang saling terkait dengan hakekat dan sejarahnya.
Akibatnya, matematika dipandang sebagai suatu ilmu pengetahuan yang terikat dengan budaya dan nilai penciptanya dalam konteks budayanya.Sejarah matematika adalah sejarah pembentukannya, tidak hanya yang berhubungan dengan pengungkapan kebenaran, tetapi meliputi permasalahan yang muncul, pengertian, pernyataan, bukti dan teori yang dicipta, yang terkomunikasikan dan mengalami reformulasi oleh individu-individu atau suatu kelompok dengan berbagai kepentingannya. Pandangan demikian memberi konsekuensi bahwa sejarah matematika perlu direvisi. Kaum absolutis berpendapat bahwa suatu penemuan belumlah merupakan matematika dan matematika modern merupakan hasil yang tak terhindarkan. Ini perlu pembenaran. Bagi kaum ‘social constructivist’ matematika modern bukanlah suatu hasil yang tak terhindarkan, melainkan merupakan evolusi hasil budaya manusia. Joseph (1987) menunjukkan betapa banyaknya tradisi dan penelitian pengembangan matematika berangkat dari pusat peradaban dan kebudayaan manusia. Sejarah matematika perlu menunjuk matematika, filsafat, keadaan sosial dan politik yang bagaimana yang telah mendorong atau menghambat perkembangan matematika. Sebagai contoh, Henry (1971) dalam Ernest (1991: 34) mengakui bahwa calculus dicipta pada masa Descartes, tetapi dia tidak suka menyebutkannya karena ketidaksetujuannya terhadap pendekatan infinitas. Restivo (1985:40), MacKenzie (1981: 53) dan Richards (1980, 1989) dalam Ernest (1991 : 203) menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara matematika dengan keadaan sosial; sejarah sosial matematika lebih tergantung kepada kedudukan sosial dan kepentingan pelaku dari pada kepada obyektivitas dan kriteria rasionalitasnya. Kaum ‘social constructivist’ berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan merupakan karya cipta. Kelompok ini juga memandang bahwa semua pengetahuan mempunyai landasan yang sama yaitu ‘kesepakatan’. Baik dalam hal asal-usul maupun pembenaran landasannya, pengetahuan manusia mempunyai landasan yang merupakan kesatuan, dan oleh karena itu semua bidang ilmu pengetahuan manusia saling terikat satu dengan yang lain. Akibatnya, sesuai dengan pandangan kaum ‘social constructivist’, matematika tidak dapat dikembangkan jika tanpa terkait dengan pengetahuan lain, dan yang secara bersama-sama mempunyai akarnya, yang dengan sendirinya tidak terbebaskan dari nilai-nilai dari bidang pengetahuan yang diakuinya, karena masing-masing terhubung olehnya. Karena matematika terkait dengan semua pengetahuan dari diri manusia, maka jelaslah bahwa matematika tidaklah bersifat netral dan bebas nilai. Dengan demikian matematika memerlukan landasan sosial bagi perkembangannya (Davis dan Hers, 1988: 70 dalam Ernest 1991 : 277-279). Shirley (1986: 34) menjelaskan bahwa matematika dapat digolongkan menjadi formal dan informal, terapan dan murni. Berdasarkan pembagian ini, kita dapat membagi kegiatan matematika menjadi 4 (empat) macam, di mana masing-masing mempunyai ciri yang berbeda-beda:
a. matematika formal-murni, termasuk matematika yang dikembangkan pada Universitas dan matematika yang diajarkan di sekolah;
b. matematika formal-terapan, yaitu yang dikembangkan dalam pendidikan maupun di luar, seperti seorang ahli statistik yang bekerja di industri.
c. matematika informal-murni, yaitu matematika yang dikembangkan di luar institusi kependidikan; mungkin melekat pada budaya matematika murni.
d. matematika informal-terapan, yaitu matematika yang digunakan dalam segala kehidupan sehari-hari, termasuk kerajinan, kerja kantor dan perdagangan.
a. matematika formal-murni, termasuk matematika yang dikembangkan pada Universitas dan matematika yang diajarkan di sekolah;
b. matematika formal-terapan, yaitu yang dikembangkan dalam pendidikan maupun di luar, seperti seorang ahli statistik yang bekerja di industri.
c. matematika informal-murni, yaitu matematika yang dikembangkan di luar institusi kependidikan; mungkin melekat pada budaya matematika murni.
d. matematika informal-terapan, yaitu matematika yang digunakan dalam segala kehidupan sehari-hari, termasuk kerajinan, kerja kantor dan perdagangan.
Dowling dalam Ernest (1991: 93), berdasarkan rekomendasi dari Foucault dan Bernstein, mengembangkan berbagai macam konteks kegiatan matematika. Dia membagi satu dimensi model menjadi 4 (empat) macam yaitu : Production (kreativitas), Recontextualization (pandangan guru dan dasar-dasar kependidikan), Reproduction (kegiatan di kelas) dan Operationalization (penggunaan matematika). Dimensi kedua dari pengembangannya memuat 4 (empat) macam yaoitu: Academic (pada pendidikan tinggi), School (konteks sekolah), Work (kerja) dan Popular (konsumen dan masyarakat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar