Sabtu, 31 Desember 2016
Senin, 19 Desember 2016
Inilah Alasan Mengapa Matematika Disebut Sebagai "Ratu Ilmu"
Matematika sebagai Ratu Ilmu
Carl Friedrich Gauss mengatakan matematika sebagai "Ratunya Ilmu Pengetahuan". Di dalam bahasa aslinya, Latin Regina Scientiarum, juga di dalam bahasa Jerman Königin der Wissenschaften, kata yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan berarti (lapangan) pengetahuan. Jelas, inipun arti asli di dalam bahasa Inggris, dan tiada keraguan bahwa matematika di dalam konteks ini adalah sebuah ilmu pengetahuan. Pengkhususan yang mempersempit makna menjadi ilmu pengetahuan alam adalah di masa terkemudian. Bila seseorang memandang ilmu pengetahuan hanya terbatas pada dunia fisika, maka matematika, atau sekurang-kurangnya matematika murni, bukanlah ilmu pengetahuan.
Albert Einstein menyatakan bahwa "sejauh hukum-hukum matematika merujuk kepada kenyataan, maka mereka tidaklah pasti; dan sejauh mereka pasti, mereka tidak merujuk kepada kenyataan."
Banyak filsuf yakin bahwa matematika tidaklah terpalsukan berdasarkan percobaan, dan dengan demikian bukanlah ilmu pengetahuan per definisi Karl Popper.[23] Tetapi, di dalam karya penting tahun 1930-an tentang logika matematika menunjukkan bahwa matematika tidak bisa direduksi menjadi logika, dan Karl Popper menyimpulkan bahwa "sebagian besar teori matematika, seperti halnya fisika dan biologi, adalah hipotetis-deduktif: oleh karena itu matematika menjadi lebih dekat ke ilmu pengetahuan alam yang hipotesis-hipotesisnya adalah konjektur (dugaan), lebih daripada sebagai hal yang baru."[24] Para bijak bestari lainnya, sebut saja Imre Lakatos, telah menerapkan satu versi pemalsuan kepada matematika itu sendiri.
Sebuah tinjauan alternatif adalah bahwa lapangan-lapangan ilmiah tertentu (misalnya fisika teoretis) adalah matematika dengan aksioma-aksioma yang ditujukan sedemikian sehingga bersesuaian dengan kenyataan. Faktanya, seorang fisikawan teoretis, J. M. Ziman, mengajukan pendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan umum dan dengan demikian matematika termasuk di dalamnya.[25] Di beberapa kasus, matematika banyak saling berbagi dengan ilmu pengetahuan fisika, sebut saja penggalian dampak-dampak logis dari beberapa anggapan. Intuisi dan percobaan juga berperan penting di dalam perumusan konjektur-konjektur, baik itu di matematika, maupun di ilmu-ilmu pengetahuan (lainnya).
Matematika percobaan terus bertumbuh kembang, mengingat kepentingannya di dalam matematika, kemudian komputasi dan simulasi memainkan peran yang semakin menguat, baik itu di ilmu pengetahuan, maupun di matematika, melemahkan objeksi yang mana matematika tidak menggunakan metode ilmiah. Di dalam bukunya yang diterbitkan pada 2002 A New Kind of Science, Stephen Wolfram berdalil bahwa matematika komputasi pantas untuk digali secaraempirik sebagai lapangan ilmiah di dalam haknya/kebenarannya sendiri.
Pendapat-pendapat para matematikawan terhadap hal ini adalah beraneka macam. Banyak matematikawan merasa bahwa untuk menyebut wilayah mereka sebagai ilmu pengetahuan sama saja dengan menurunkan kadar kepentingan sisi estetikanya, dan sejarahnya di dalam tujuh seni liberal tradisional; yang lainnya merasa bahwa pengabaian pranala ini terhadap ilmu pengetahuan sama saja dengan memutar-mutar mata yang buta terhadap fakta bahwa antarmuka antara matematika dan penerapannya di dalam ilmu pengetahuan danrekayasa telah mengemudikan banyak pengembangan di dalam matematika.
Satu jalan yang dimainkan oleh perbedaan sudut pandang ini adalah di dalam perbincangan filsafat apakah matematika diciptakan (seperti di dalam seni) atau ditemukan(seperti di dalam ilmu pengetahuan). Adalah wajar bagi universitas bila dibagi ke dalam bagian-bagian yang menyertakan departemen Ilmu Pengetahuan dan Matematika, ini menunjukkan bahwa lapangan-lapangan itu dipandang bersekutu tetapi mereka tidak seperti dua sisi keping uang logam. Pada tataran praktisnya, para matematikawan biasanya dikelompokkan bersama-sama para ilmuwan pada tingkatan kasar, tetapi dipisahkan pada tingkatan akhir. Ini adalah salah satu dari banyak perkara yang diperhatikan di dalam filsafat matematika.
Penghargaan matematika umumnya dipelihara supaya tetap terpisah dari kesetaraannya dengan ilmu pengetahuan. Penghargaan yang adiluhung di dalam matematika adalah Fields Medal (medali lapangan), dimulakan pada 1936 dan kini diselenggarakan tiap empat tahunan. Penghargaan ini sering dianggap setara dengan Hadiah Nobel ilmu pengetahuan.
Wolf Prize in Mathematics, dilembagakan pada 1978, mengakui masa prestasi, dan penghargaan internasional utama lainnya, Hadiah Abel, diperkenalkan pada 2003. Ini dianugerahkan bagi ruas khusus karya, dapat berupa pembaharuan, atau penyelesaian masalah yang terkemuka di dalam lapangan yang mapan.
Sebuah daftar terkenal berisikan 23 masalah terbuka, yang disebut "masalah Hilbert", dihimpun pada 1900 oleh matematikawan Jerman David Hilbert. Daftar ini meraih persulangan yang besar di antara para matematikawan, dan paling sedikit sembilan dari masalah-masalah itu kini terpecahkan.
Sebuah daftar baru berisi tujuh masalah penting, berjudul "Masalah Hadiah Milenium", diterbitkan pada 2000. Pemecahan tiap-tiap masalah ini berhadiah US$ 1 juta, dan hanya satu (hipotesis Riemann) yang mengalami penggandaan di dalam masalah-masalah Hilbert.
Minggu, 18 Desember 2016
Apa Arti Kedewasaan Dan Bagaimana Menjadi Dewasa?
Kedewasaan dan sikap yang dewasa adalah hal yang sangat penting untuk
dimiliki setiap individu. Sebaliknya sikap kekanakan adalah sumber dari banyak
masalah dalam pergaulan atau kehidupan sosial. Kedewasaan adalah sebuah kondisi
diri dan sikap yang bisa menyelesaikan banyak masalah dan menjadikannya selaras
dengan sekitarnya.
Bahkan kedewasaan bisa mencegah timbulnya masalah dalam pergaulan dan
kehidupan sosial. Bisa dikatakan, dunia akan menjadi tempat yang lebih baik
jika masing-masing individu bisa bersikap lebih dewasa dalam segala hal.
Kedewasaan adalah hal yang sangat penting, tapi apakah kita pernah
benar-benar berfikir apa sebenarnya arti
Kedewasaan dan bagaimana bersikap dewasa ? Mari kita membahasnya…
Kalau anda menginginkan jawaban yang
singkat, Dewasa adalah D-E-W-A-S-A.
Kalau anda menginginkan jawaban yang
komperehensif, dewasa adalah :
·
Mau Menerima Nasehat Yang Baik
Salah satu bentuk Kedewasaan yang
utama adalah mau menerima nasehat terutama jika itu nasehat yang baik. Jika
salah mau diingatkan dan diberitahu yang baik, dan mau menerima nasehat supaya
dirinya menjadi lebih baik atau melakukan hal yang benar. Tidak keras kepala,
bebal dan keras hati, hanya memikirkan keinginannya saja tidak peduli dengan
nasehat yang baik padahal apa yang dilakukan sudah jelas-jelas salah. Sikap
dewasa adalah peduli dengan kebaikan, mau mendekat dengan hal-hal baik, mau
mencari tahu kebaikan dan mau menghiraukan nasehat-nasehat yang baik.
·
Memiliki Kesadaran Yang Lebih Tentang
Hal-Hal
Kedewasaan biasanya pertama kali
muncul dalam bentuk kesadaran yang lebih tentang hal-hal. Kesadaran yang
mencakup hal yang lebih luas dan menyeluruh dalam hidup. Orang yang dewasa
sadar apa yang dikatakannya, apa yang dilakukannya, apa yang terjadi dalam dirinya,
apa yang sedang terjadi di sekitarnya, apa yang terjadi pada orang lain, apa
masalah yang mungkin timbul dari hal yang sedang terjadi dsb.
Meskipun manusia tidak sempurna dan
tidak mungkin bagi seseorang untuk sadar 100% tentang semua hal, tapi pribadi
yang dewasa mempunyai kesadaran tentang hal-hal setidaknya dengan cakupan yang
lebih luas dan dalam daripada orang pada umumnya. Karena kesadaran sudah
muncul, pribadi yang dewasa akan mudah untuk diajak berdiskusi, dealing untuk
suatu hal dan juga mudah untuk diajak menyelesaikan masalah yang ada. Easy to
deal with person.
·
Memiliki Pemahaman Diri Yang Baik
Kedewasaan yang utama adalah memiliki
pemahaman diri yang baik. Dan ini mencakup memahami apa kelebihan kita, apa
kekurangan kita, apa sisi dalam diri kita yang perlu dibenahi dan dirubah.
Kemudian merespon berdasarkan kebutuhan yang bersumber dari pemahaman diri
tersebut. Misalnya, jika merasa dan memahami bahwa diri kurang religius
kemudian mendekat dan bergaul dengan orang-orang yang lebih religius. Supaya
diri terbantu untuk bisa menjadi lebih religius. Jika paham diri kurang sabar
maka mendekat dan bergaul dengan orang-orang yang lebih sabar. Jika paham diri
egois maka bergaul dengan orang-orang yang lebih toleran dsb.
Pemahaman diri yang baik sangat
krusial karena itu membuat kita merespon dengan cara yang membaikkan diri kita
dan bukan sebaliknya. Ibarat misal kita paham diri kita adalah “Api”, kita
mencari “Air” untuk menetralisir. Tapi jika misalnya kita “Api” dan tidak sadar
bahwa kita “Api”, mungkin kita justru akan mencari bensin dan membuat segala
sesuatunya ‘terbakar’. Sebaliknya pemahaman diri yang kurang itu sifat
kekanakan yang utama, seringnya merespon dengan cara yang justru membuat segala
sesuatunya menjadi semakin buruk. Jadi langkah pertama untuk belajar menjadi
dewasa adalah dengan berusaha memiliki pemahaman diri yang baik.
·
Bagus Dalam Menahan Diri
Menahan diri adalah salah satu hal
paling bagus yang bisa dilakukan manusia. Bahkan ada ritual yang diwajibkan dan
itu fokus untuk menahan diri : Puasa. Apa esensi dari puasa? Apakah sekedar
menahan lapar dan haus? Tentu saja tidak. Esensi puasa adalah menahan hawa dan
nafsu dan cakupan dari hawa dan nafsu itu luas. Contoh umum misalnya marah,
orang menjadi marah kalau tidak bisa menahan emosi. Dengan kata lain kegagalan
dalam menahan emosi. Dan solusi supaya seseorang menjadi tidak pemarah adalah
sering-sering belajar menahan emosinya.
Menahan diri, kami menyebutnya lebih
menyerupai seperti ‘olahraga’ yaitu sesuatu yang harus dilatih dengan kadar
sedikit demi sedikit sampai bisa melakukannya dengan baik. Orang yang dewasa
bisa menahan hal-hal yang tidak baik dari dirinya keluar dan merugikan
sekitarnya, sebaliknya bisa hanya memunculkan yang baik dari dirinya saja dan
itu juga baik untuk sekitarnya. Jadi banyaklah belajar menahan diri, menahan
segala sesuatu dari diri kita yang itu sumbernya dari hawa dan nafsu kita
karena itu pasti negatif. Bicara itu perlu, tapi banyak berbicara yang tidak
ada isinya dan tidak ada manfaatnya akan terlalu berlebihan. Jadi kita punya
hak berbicara tapi sebaiknya menahan diri untuk bicara hanya yang baik dan ada
manfaatnya saja. Makan itu perlu tapi kalau tidak menahan diri kita akan sering
makan sesuatu yang tidak ada manfaatnya untuk tubuh dan juga keluar banyak
biaya. Ada banyak orang yang hobi makan di tempat-tempat yang mahal. Tapi coba
pikirkan apakah yang dimakan itu bermanfaat untuk tubuh? Dan apakah tidak
keluar banyak biaya? Yang dimakan tidak ada manfaatnya untuk tubuh plus keluar
banyak uang. Daripada melakukan itu simple lebih baik orang yang makan di rumah
dengan masakan yang sederhana, murah tapi higienis dan bermanfaat untuk
tubuhnya. Itu beberapa contoh menahan diri secara positif. Jika seseorang terus
berlatih menahan diri, lama kelamaan dia sanggup menjadi “Master” untuk dirinya
sendiri. Dengan kata lain bisa mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
Dan itu pada akhirnya akan memunculkan kemampuan untuk mengalahkan salah satu
musuh besar manusia yaitu egonya sendiri.
·
Mempunyai Kemampuan Meredam Dan
Memanage Ego
Dalam banyak hal
sebenarnya individu dalam hati menyadari hal-hal yang harus disadarinya. Sering
terjadi yang menghambat dan membuat segala sesuatu semakin buruk adalah Ego.
Bisa dikatakan Ego adalah faktor penghambat terbesar untuk kita menjadi dewasa.
Kedewasaan dan Ego adalah musuh bebuyutan. Selama kita belum bisa meredam dan
memanage ego, kita belum akan bisa menjadi dewasa. Sebaliknya pribadi
yang dewasa sudah mempunyai kesadaran disaat tanda-tanda ego muncul di
dalam dirinya. Kemudian sanggup meredam dan memanage egonya sendiri supaya itu
tidak berbenturan dengan individu lain. Pribadi yang dewasa menganggap meredam
dan memanage ego adalah tanggung jawab sebagai individu. Karena sadar itu bisa
menimbulkan masalah, benturan atau konflik, memperburuk situasi dan menimbulkan
masalah-masalah yang tidak perlu.
·
Bisa Memposisikan Diri Dengan Baik
Bentuk kedewasaan yang lain yaitu
bisa memposisikan diri dengan baik. Paham dirinya sedang berada dimana,
bagaimana konteksnya, dimana batasan-batasannya dan apa hak dan kewajibannya.
Itu semua terjadi secara alami muncul dari dirinya tanpa diberitahu atau
dinasehati ( Sadar dengan sendirinya ). Contoh konkritnya begini, seseorang
menjadi pegawai di sebuah perusahaan. Di satu sisi dia merasakan beberapa
keluhan tentang sistem atau kenyamanan tempatnya bekerja kemudian mempunyai
beberapa keinginan atas hal itu. Darisitu dia ingin menyampaikan keinginannya
itu ke atasan atau siapapun yang berwenang membuat keputusan untuk hal itu.
Tapi di dalam menyampaikan keinginan itu sudah dibarengi dengan beberapa
kesadaran misalnya :
– Saya mempunyai keinginan dan berhak
untuk didengarkan.
– Di sisi lain ada individu-individu
lain di tempat saya bekerja dan mereka mempunyai hak yang sama. Maka dari itu
saya harus bersedia bernegosiasi dan berkompromi untuk mencari titik temu
dengan keinginan-keinginan yang berbeda.
– Karena hak saya juga dibatasi oleh
hak orang lain, saya harus bisa menerima seandainya tidak semua keinginan saya
bisa diakomodir demi untuk kebaikan bersama.
– Saya berhak menyampaikan keinginan
dan pendapat tapi atasan saya berhak membuat keputusan. Jika ternyata
keputusannya tidak sesuai dengan keinginan saya maka saya juga harus bisa
menerima itu ( Tidak dendam, emosi, merajuk dsb ).
– Jika ternyata keputusan perusahaan
tidak sejalan dengan keinginan saya, saya harus bisa menerima dan menghormati
itu. Tapi kalaupun saya tidak bisa menerima maka saya harus memahami bahwa itu
menjadi masalah saya pribadi, menjadi dealing saya dengan diri saya sendiri dan
pointnya adalah saya tidak bisa membuat segala sesuatu terjadi seperti
keinginan saya.
Itulah contoh situasi dari kedewasaan
dalam bentuk bisa memposisikan diri. Mungkin anda berfikir itu contoh yang
terlalu sempurna dan yang banyak terjadi tidak seperti itu. Itu benar seperti
yang sudah kami sampaikan bahwa manusia tidak sempurna. Tapi pribadi yang
dewasa kesadarannya dalam memposisikan diri setidaknya sudah mencakup area yang
lebih luas. Kita asumsikan ada 5 point yang harus disadari, dia sadar 4 point.
Dan meskipun ada point yang dia belum sadar, tapi untuk pribadi yang dewasa
tidak sulit untuk membuatnya sadar tentang itu. Dialog dan upaya untuk
membuatnya sadar itu akan minimal. Hal ini berhubungan dengan point
selanjutnya…
·
Mudah Dibuat Mengerti
Mudah dibuat mengerti, dengan kata
lain tidak keras kepala dan tidak kepala batu. Bersedia beradaptasi untuk
mencari sudut pandang yang tepat supaya dirinya bisa melihat sesuatu secara
proporsional. Jika ada kesalahpahaman, mudah untuk dijelaskan atau diluruskan.
Jika melakukan kesalahan, mudah untuk memahami kesalahannya dan mudah untuk
meminta maaf. Jika orang lain yang melakukan kesalahan, mudah untuk memaklumi
dan memaafkan. Orang yang kita tidak butuh mengeluarkan banyak upaya dan energi
untuk membuat dia mengerti dan memahami sesuatu hal, suatu kondisi atau suatu
masalah. Mudah diajak bicara dan diskusi untuk hal-hal yang sifatnya menuju
titik temu. Tidak perlu harus selalu ribut dan bertengkar untuk mencari titik
temu dari situasi-situasi yang ada.
·
Melihat Dan Menyimpulkan Sesuatu Secara
Imbang Dan Proporsional
Bentuk kedewasaan yang lain adalah
melihat dan menyimpulkan sesuatu secara bijak, sabar, imbang, di tengah-tengah
dan proporsional. Seperti apakah sikap kekanakan itu? Salah satunya adalah
melihat dan menyimpulkan sesuatu secara kebablasan, kalau gak bablas ke ‘kiri’
ya bablas ke ‘kanan’. Tidak bisa imbang atau di tengah-tengah. Ini adalah
akibat dari melihat dan menyimpulkan sesuatu masih dengan emosi. Situasi
dilihat dan disimpulkan sekedar supaya sesuai keinginan dan bukan bagaimana
dari sisi yang seharusnya( atau sisi yang benar ). Jadi sikap dewasa adalah
kebalikan dari itu.
Contoh situasinya begini, untuk orang
yang masih kekanakan jika melakukan kesalahan akan sulit untuk diingatkan
dengan tanpa menimbulkan masalah, atau dengan tanpa dia menyimpulkan teguran
yang diberikan kepada dirinya ‘keluar’ dari proporsi yang seharusnya. Teguran
yang disampaikan kepada dirinya, sulit untuk menemui ‘sasaran’ karena itu
diartikan bablas ke satu sisi atau sisi yang lainnya. Dan seringnya itu cuma
karena ingin menghindar dari kesalahan. Efeknya adalah hal yang simple jadi
rumit, bahkan untuk diri sendiri. Orang dengan sikap kekanakan menjadi pribadi
yang sulit untuk diajak bicara untuk mencari titik temu.
Sebaliknya orang dengan sikap dewasa
misal dia melakukan kesalahan, sebuah teguran yang tepat akan mudah menemui
sasaran dengan tanpa menimbulkan efek yang tidak perlu. Pribadi yang dewasa
bisa menerima teguran yang beralasan dengan bijak dan proporsional, sekaligus dengan
tanpa harus merasa rendah diri atau merasa diri buruk. Teguran itu direspon
secara positif dan tepat dan juga teguran tidak diartikan keluar dari
proporsinya hanya karena ingin mengelak dari kesalahan.
·
Selalu Bersedia ‘Menyisakan’ Ruang
Untuk Titik Temu
Apakah orang yang dewasa tidak bisa
salah paham dan tidak bisa mempunyai masalah dengan orang lain? Tentu saja bisa
karena sedewasa apapun seseorang tetap saja masih manusia biasa, dengan segala
sifat yang manusiawi. Tapi perbedaannya, jika orang yang dewasa salah paham
atau punya masalah dengan orang lain, dia bersedia menyisakan ruang untuk
terjadinya titik temu. Meskipun mungkin sudah menyimpulkan sesuatu tapi masih
bisa ditawar atau di ‘nego’ supaya ada jalan tengah atau titik temu dengan
pihak lain. Untuk apapun yang sudah disimpulkannya, masih bersedia mendengar
dan berpikiran terbuka supaya terjadi titik temu. Semua orang bisa salah paham
dan mempunyai masalah dengan orang lain, kedewasaan adalah pembeda dalam
bagaimana menyikapi hal tersebut. Jika terjadi masalah, sikap dewasa adalah
sikap yang mendukung terwujudnya titik temu, jalan keluar dan penyelesaian
masalah.
·
Melihat Situasi Dalam Bentuk Pilihan
Atau Opsi-Opsi
Kedewasaan adalah juga suatu kondisi
disaat di dalam diri kita sudah muncul kemampuan untuk memilah sikap dan respon
dalam bentuk opsi-opsi. Kemudian mempertimbangkan masing-masing opsi dan
memilih salah satu opsi yang dianggap terbaik sebagai SIKAP atau RESPON.
Jadi sebaliknya, Kekanakan adalah
kondisi dimana “Sikap” dan “Respon” masih sebuah hal yang impulsif begitu saja
muncul dari diri tanpa disadari dan dikendalikan.
Alaminya, apa yang terjadi di dalam
diri kebanyakan orang disaat berada dalam sebuah situasi atau masalah?
Merespon, dan salah satunya dalam bentuk sikap tapi “Respon” yang keluar dari
dalam diri itu sifatnya masih sebuah reflek. Sebuah spontanitas yang cenderung
tidak disadari dan tidak dikontrol. Muncul dengan begitu saja dari dalam diri
secara impulsif.
Kedewasaan adalah sebuah kondisi
diri, dimana kemampuan untuk mengontrol respon dan sikap itu sudah muncul.
Sebagai gambaran pribadi yang dewasa disaat berada dalam sebuah situasi atau
masalah akan berfikir : Apa saja opsi saya dalam situasi atau masalah ini dan
apa opsi terbaik yang bisa saya ambil sebagai Sikap atau Respon?
Hasil akhirnya tetaplah sebuah
“Sikap” dan “Respon” hanya perbedaannya, itu menjadi sebuah “Sikap” dan
“Respon” yang sudah dihitung dan dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya.
Darisitu, Sikap atau Respon itu menjadi sesuatu yang terukur efek dan dampaknya.
Dengan kata lain menjadi minimal dampak buruk atau dampak yang tidak diinginkan
yang muncul dari Sikap dan Respon tersebut.
Secara garis besar ini adalah
perbedaan bersikap dan merespon menggunakan logika dengan menggunakan emosi.
Kedewasaan adalah bersikap dan merespon dengan menggunakan logika, sebaliknya
Kekanakan adalah bersikap dan merespon dengan emosi. Dalam sebuah sikap atau
respon yang bersifat reflek dan spontan, faktor apa yang biasanya mempengaruhi
dan mengendalikan itu?
Rasa marah, jengkel, tersinggung.
cemas, khawatir, cemburu dan sebagainya. Intinya hal-hal yang bersumber dari
impuls, emosi atau perasaan. Karena itu muncul dari emosi biasanya efek atau
dampaknya menjadi tidak terukur, dalam arti banyak efek yang muncul bahkan
tidak disadari oleh individu yang mengeluarkan sikap dan respon tersebut.
Kemampuan memilih opsi-opsi dari
situasi atau masalah yang ada kemudian memilih opsi terbaik sebagai sikap atau
respon, artinya sangat luas. Jika individu sudah memiliki kemampuan itu di
dalam dirinya, itu bisa diartikan dirinya sudah memiliki Kedewasaan. Karena
pasti sudah terjadi proses sampai menuju kondisi tersebut. Itu bukanlah sebuah
pencapaian pribadi yang bisa begitu saja didapat dengan instan. Itu memerlukan
kebijaksanaan dan management diri yang baik dimana biasanya untuk mencapai itu,
individu biasanya sudah mempunyai banyak pengalaman hidup.
Pengalaman hidup adalah faktor
krusial yang mempengaruhi kedewasaan. Biasanya kita sulit menjadi dewasa tanpa
mengalami banyak hal terlebih dahulu. Pengalaman hidup berfungsi sebagai
semacam jam terbang. Dan seperti yang kita sudah tahu, di bidang apapun kita
butuh jam terbang untuk sampai pada performa terbaik.
Pengalaman hidup adalah juga proses
supaya kita mendapatkan sudut pandang terbaik dari suatu hal. Proses yang
terjadi dalam pengalaman hidup, adalah proses try and error dari hal-hal yang
menurut kita benar. Dimana proses itu terjadi dengan cara kita melakukan apa
yang menurut kita benar kemudian dari kejadian-kejadian hidup yang kita alami
yang memberitahu kita apakah yang menurut kita benar itu sudah benar atau
belum. Dari masalah, hambatan atau rintangan dari melakukan apa yang menurut
kita benar itulah yang akan memberi kita sudut-sudut pandang baru tentang apa
yang menurut kita benar. Analoginya seperti ilmuwan yang sedang melakukan riset
dan eksperiment. Eksperiment pasti dimulai dari sebuah ide tentang sesuatu, kemudian
itu di uji coba, terjadi sekian kesalahan, terus dicoba dengan cara, rumus atau
bahan yang berbeda sampai akhirnya menemukan formula terbaik. Pengalaman
memberikan dampak ke dalam hidup kita persis dengan cara seperti ini. Diawali
dengan kita melakukan yang kita pikir benar, darisitu muncul hambatan atau
masalah, kemudian kita berfikir apa solusinya dan pendekatan apa yang harus
dirubah, kemudian solusi dan pendekatan yang berbeda itu kita coba lakukan dan
begitu seterusnya sampai kita menemukan ‘formula’ terbaik.
Seorang ilmuwan tidak menemukan
formula terbaik dengan cara mempunyai ide, mencobanya sekali dan kemudian
selesai formula ajaib sudah ditemukan dengan begitu saja. Pasti ada proses
untuk itu yang cukup panjang. Sekian percobaan atau try and error, sekian
pendekatan yang dirubah, sekian rumus yang dirubah, sekian metode yang dirubah,
sekian bahan yang dirubah dan sebagainya. Begitu juga dengan proses kita
menjadi dewasa, itu tidak terjadi dengan begitu saja. Tapi terjadi dengan
awalnya kita melakukan hal yang menurut kita benar, try and error, mencoba
berbagai cara dan berbagai pendekatan sampai kita di titik mendapatkan sudut
pandang yang paling benar atau paling ideal dari sesuatu.
Semua proses yang terjadi itulah yang
pada akhirnya membawa kita pada sebuah kondisi yang disebut dengan Dewasa. Dan
seperti yang sudah kami sebutkan, Kedewasaan salah satunya adalah kemampuan
melihat situasi atau masalah yang ada dalam bentuk opsi-opsi kemudian memilih
opsi terbaik sebagai sikap atau respon. Hasil akhirnya itu membuat anda
mempunyai kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dan sikap atas hal-hal
yang anda hadapi dalam hidup anda.
Kedewasaan yang
sempurna…
Bentuk kedewasaan yang terakhir ini
sangat sulit dan hanya sedikit yang benar-benar bisa melakukannya tapi asalkan
kita mau berusaha untuk itu, maka pasti akan ada kemajuan dalam kedewasaan
kita…
Kedewasaan yang sempurna adalah
disaat orang menyakiti anda, anda berusaha memahami dan memaklumi situasinya
dan tidak membalas menyakiti.
Seperti yang kita tahu, sangat jarang
kita melihat hal ini dan sangat sedikit contoh dari hal ini yang bisa kita
lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan hal yang mudah dan sangat
berlawanan dengan kecenderungan manusia. Tapi yang diperlukan hanyalah kita mau
untuk mencoba dan tidak harus langsung bisa. Bisa itu sendiri akan datang
dengan berjalannya waktu setelah terus mencoba. Hal terpenting pertama adalah
menyetujui hal ini kemudian mau mencobanya. Atau kalaupun belum mau mencoba
tapi dalam hati membenarkan hal ini dulu dan berniat suatu saat mencobanya.
Apakah Kedewasaan
atau Sikap Dewasa bisa selalu bekerja?
Tergantung situasinya. Dalam konteks
hubungan dengan orang lain atau hubungan sosial, ada saatnya meskipun anda
sudah berusaha menjadi dewasa itu tidak membuat perbedaan. Jika anda berada
dalam sebuah komunitas yang semuanya masih kekanakan, kedewasaan anda mungkin
bukan hal yang dihargai dan juga tidak menyelesaikan masalah. Karena dalam
sikap dewasa itu artinya adalah anda berusaha bersikap dengan benar. Tapi anda berusaha
bersikap dengan benar itu bisa menjadi tidak berarti jika anda berada di
lingkungan yang bahkan tidak peduli dengan sikap. Anda berusaha bersikap dengan
benar di dalam lingkungan yang bahkan tidak peduli seperti apakah sikap yang
benar atau salah itu. Jika anda berada dalam situasi ini, kemungkinan besar
kedewasaan anda tidak membuat hal-hal yang tidak beres bisa menjadi beres.
Simple, anda berada di lingkungan yang salah. Meskipun begitu, Kedewasaan lebih
bersifat sebuah kewajiban. Kalau anda berada di lingkungan seperti itu,
janganlah itu menyurutkan langkah anda untuk berusaha menjadi dewasa. Terlepas
dari seperti apa lingkungan kita, menjadi individu yang dewasa adalah sebuah
kewajiban dan pencapaian dalam hal kebaikan yang harus kita upayakan.
Sebaliknya jika anda berada komunitas
atau lingkungan yang peduli dengan sikap-sikap yang baik, kedewasaan anda akan
sangat dihargai dan juga membuat keadaan menjadi lebih baik. Jika anda misalnya
seorang pegawai di sebuah kantor dan anda pribadi yang dewasa, anda pasti akan
menjadi rekan kerja yang menyenangkan dan berkualitas untuk rekan-rekan kerja
anda, dan anda juga akan menjadi bawahan yang disenangi oleh atasan anda.
Seorang pegawai yang dewasa dan mempunyai kesesuaian sikap dengan kultur kerja,
mudah dibuat mengerti dan kooperatif adalah tipe pegawai yang diimpikan semua
pemimpin perusahaan. Dalam situasi seperti itu, kedewasaan anda membawa
perubahan baik pada keadaan dan juga akan di apresiasi oleh lingkungan anda
secara semestinya.
Sebuah keadaan baik di dalam diri,
akan lebih mudah dicapai jika kita berada di dalam lingkungan yang mendukung
hal tersebut. Supaya kita lebih mudah menjadi pribadi yang dewasa tentu saja
sebaiknya kita bergaul dengan individu-individu yang dewasa. Karena lingkungan
yang tepat itu akan banyak membantu kita melewati proses-proses yang sulit dari
menjadi pribadi yang dewasa. Jadi jika anda sedang ingin menjadi pribadi yang
dewasa, berusahalah selektif dalam memilih teman dan lingkungan anda.
Demikian yang bisa kami sampaikan
tentang arti kedewasaan, semoga menginspirasi anda tentang bagaimana menjadi
dewasa. Apa pendapat anda tentang kedewasaan? Silahkan menulisnya di comment
dan share jika anda mendapati artikel ini bermanfaat!
Sabtu, 17 Desember 2016
Moralitas Ilmu Pengetahuan.
Manusia sebagai manipulator dan articulator dalam mengambil manfaat dalam ilmu pengetahuan. Dalam psigkologi, dikenal konsep diri dan freud menyebut sebagai “id”, “ego” dan “super ego” , “id” adalah bagian kepribadian yang dorongan biologi (hawa nafsu dalam agama ) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua insting: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” penyelaras antara “Id” dan realitas dunia luar.“super ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani (jalaludin Rahmat, 1989). Dalam agama ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya mefungsikan “id” nya, seingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan diaarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara superego tidak berfungsi optimal, maka tentu atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tidak manusia mejatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan amatlah nihil kebaikan yang diperolehmanusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super ego”nya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar, dan salah. Yang paling menonjol tentang baik dan kuwajiban .keduanya bertalian denga hati nurani. Bernaung dibahwa filasafat moral (Herman Soerwardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kuwajiban itu, dengan argument bahwa sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan yang melaksanakanya tidak ditunjuk. Exekutornya menjadi jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik atau buruk yang baik itulah kuwajiban executor dalam kehidupan ini.
Ilmu pengetahuan yang diterapkan bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut di dalam masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk memperlajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu pengetahuan ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia[6].
Ilmu pengetahuan hendaknya dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh manusia-manusia yang tidak bermoral telah membawa maut dan penderitaan yang begitu dahsyat kepada umat manusia, sehingga manusia di dunia ini tetap mendambakan perdamaian abadi dengan penemuan-penemuan ilmu yang modern dan canggih ini. Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serba budi; Immanuel Kant menyatakan ilmu pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Ilmu pengetahuan selain tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran juga harus mengandung nilai etis atau moral, dikatakan beretis atau bermoral adalah harus mengandung nilai yang bermakna dan berarti, berguna bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan bukan saja mengandung kebenaran-kebenaran tapi juga kebaikan-kebaikan[7].
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya mefungsikan “id” nya, seingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan diaarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, dimana ego kalah sementara superego tidak berfungsi optimal, maka tentu atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tidak manusia mejatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan amatlah nihil kebaikan yang diperolehmanusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super ego”nya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik, buruk, semestinya, benar, dan salah. Yang paling menonjol tentang baik dan kuwajiban .keduanya bertalian denga hati nurani. Bernaung dibahwa filasafat moral (Herman Soerwardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kuwajiban itu, dengan argument bahwa sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan yang melaksanakanya tidak ditunjuk. Exekutornya menjadi jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik atau buruk yang baik itulah kuwajiban executor dalam kehidupan ini.
Ilmu pengetahuan yang diterapkan bertujuan untuk mempergunakan dan menerapkan ilmu pengetahuan tersebut di dalam masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Adalah sangat bijaksana apabila manusia-manusia di muka bumi ini dapat memanfaatkan ilmunya untuk memperlajari berbagai gejala atau peristiwa yang menurut anggapannya mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Pemanfaatan ilmu pengetahuan hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang asasi, dan semua orang akan menyambut gembira bila ilmu pengetahuan ini benar-benar dimanfaatkan bagi kemaslahatan manusia[6].
Ilmu pengetahuan hendaknya dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh manusia-manusia yang tidak bermoral telah membawa maut dan penderitaan yang begitu dahsyat kepada umat manusia, sehingga manusia di dunia ini tetap mendambakan perdamaian abadi dengan penemuan-penemuan ilmu yang modern dan canggih ini. Descartes menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan serba budi; Immanuel Kant menyatakan ilmu pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman. Ilmu pengetahuan selain tersusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran juga harus mengandung nilai etis atau moral, dikatakan beretis atau bermoral adalah harus mengandung nilai yang bermakna dan berarti, berguna bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan bukan saja mengandung kebenaran-kebenaran tapi juga kebaikan-kebaikan[7].
Dalam menggerayangi hakekat ilmu, sewaktu kita mulai menyentuh nilainya yang dalam, di situ kita terdorong untuk bersikap hormat kepada ilmu. Hormat pertama-tama tak ditujukan kepada ilmu murni tetapi ilmu sebagaimana telah diterapkan dalam kehidupan. Sebenarnya nilai ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengabdi masyarakat sehingga ia menjadi sarana kemajuan. Boleh saja orang mengatakan bahwa ilmu itu mengejar kebenaran dan kebenaran itu merupakan inti etika ilmu, tetapi jangan dilupakan bahwa kebenaran itu ditentukan oleh derajat penerapan praktis dari ilmu. Pandangan yang demikian itu termasuk faham pragmatisme tentang kebenaran. Di situ kebenaran merupakan suatu ide yang berlandaskan efek-efek praktis[8]
Teknologi yang merupakan konsep ilmiah yang menjelma dalam bentuk konkret telah mengalihkan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi ini masalah moral muncul kembali berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Dihadapkan dengan masalah moral, ilmuwan terbagi menjadi dua.
Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis. Sehingga tugas ilmwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada penggunanya untuk menggunakan pengetahuan tersebut demi tujuan baik atau buruk.
Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Charles Darwin mengatakan bahwa tahapan tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Teknologi yang merupakan konsep ilmiah yang menjelma dalam bentuk konkret telah mengalihkan ilmu dari tahap kontemplasi ke manipulasi. Dalam tahap manipulasi ini masalah moral muncul kembali berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Dihadapkan dengan masalah moral, ilmuwan terbagi menjadi dua.
Golongan pertama menginginkan ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis. Sehingga tugas ilmwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah pada penggunanya untuk menggunakan pengetahuan tersebut demi tujuan baik atau buruk.
Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Charles Darwin mengatakan bahwa tahapan tertinggi dalam kebudayaan moral manusia adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Jumat, 16 Desember 2016
Pendidikan Sebagai Sistem
Pemaknaan sebuah kata bisa di lihat dari berbagi pendekatan dan berbagai sudut pandang, dalam hal ini kata 'pendidikan' bisa di maknai dengan pendekatan monodisipliner, pendekatan fenomenologis, dan pendekatan sistem. Pemaknaan sebuah kata bisa di lihat dari berbagi pendekatan dan berbagai sudut pandang, dalam hal ini kata 'pendidikan' bisa di maknai dengan pendekatan monodisipliner, pendekatan fenomenologis, dan pendekatan sistem.
Dengan pendekatan monodisipliner, kata pendidikan bisa di definisikan dengan berbagai disiplin ilmu, karena setiap disiplin ilmu memiliki objek formal yang berbeda. berdasarkan hasil studi terhadap objek formalnya masing-masing, setiap disiplin ilmu menghasilkan perbedaan pula mengenai konsep atau definisi yang identik dengan pendidikan. Misalnya, dengan memakai pendekatan sosiologi, maka pendidikan identik dengan sosialisasi (socialization) atau proses bersosial; dengan pendekatan antropologi, maka pendidikan identik dengan enkulturasi (enculturation) atau proses pembudayaan; dengan pendekatan ekonomi, maka pendidikan identik dengan penanaman modal pada diri manusia (human investment); dengan pendekatan politik, pendidikan identik dengan civilisasi (civilization) atau peradaban; dengan pendekatan psikologi, maka pendidikan identik dengan personalisasi atau individualisasi (personalization or individualization) atau perbuatan yang di capai demi kepentingan pribadi; dan dengan pendekatan biologi, maka pendidikan identik dengan adaptasi (adaptation) atau proses penyesuaian diri.
Dengan pendekatan fenomenologis, maka pendidikan bisa dipahami sebagai suatu upaya orang dewasa yang dilakukan secara sengaja untuk membantu anak atau orang yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan.
Sedangkan pendidikan dengan memakai pendekatan sistem, atau makna dari pendidikan sebagai sebuah sistem adalah sebagai berikut. Pertama, saya akan mencoba menguraikan kata pendidikan itu sendiri, dan kata sistem itu sendiri, yang kemudian mencoba memahami kata pendidikan dengan pendekatan sistem. Selanjutnya saya akan mencoba mengulas sedikit tentang komponen-komponen pendidikan sebagai sistem, tujuan pendidikan sebagai sistem, dan karakteristik pendidikan sebagai sistem.
Makna Pendidikan Sebagai Sistem
Untuk memaknai kata pendidikan dengan memakai pendekatan sistem, akan lebih baiknya kalau kita memahai kata pendidikan itu sendiri dan memahami kata sistem itu sendiri.
Ada banyak definisi pendidikan yang diutarakan oleh para pakar dibidangnya, namun di sini hanya akan diutarakan dua definisi saja, yaitu;
1. Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
2. Menurut Undang-undang sistem pendidikan No. 20 Tahun 2003 pasal 1 ayat 1, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sedangkan arti dari kata sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
Dengan demikian, pendidikan sebagai sistem adalah penerapan (aplication) pandangan sistem (system view atau system thinking) dalam upaya memahami sesuatu atau memecahkan suatu permasalahan. Apabila kita mengaplikasikan pendekatan sistem dalam mempelajari pendidikan, maka dapat didefinisikan bahwa pendidikan adalah suatu keseluruhan yang terpadu dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Dari definisi pendidikan dengan pendekatan sistem tersebut, maka kita bisa menarik beberapa bahasan ( diskursus ) penting yaitu bahasan tentang komponen pendidikan beserta fungsinya dan bahasan tentang tujuan pendidikan.
Komponen-Komponen Pendidikan
Komponen atau perangkat pendidikan merupakan bagian penting dari pedidikan sebagai sebuah sistem, sistem akan berjalan dengan lancar kalau komponen didalamnya berfungsi dengan baik. Dalam hal ini Philip Hall Coombs (Seorang ahli pendidikan Amerika, sekaligus kaki tangan Jhon F. Kenedi di bidang pengembangan pendidikan, hidup pada tahun 1956-2006) mengatakan bahwa di sana ada 12 komponen (12 sub-sistem atau anak sistem) pendidikan, yaitu;
1. Tujuan dan Prioritas
Komponen ini berfungsi sebagai pemberi arah yang terfokus terhadap pendidikan.
2. Peserta Didik
Komponen ini berfungsi sebagai objek pendidikan guna tercapainya proses belajar-mengajar.
3. Pengelolaan
Komponen ini fungsinya adalah merencanakan, mengkordinasikan, dan menilai.
4. Struktur dan Jadwal
Fungsinya adalah mengatur waktu dan mengelompokkan peserta didik berdasarkan tujuan tertentu.
5. Isi atau Kurikulum
Fungsinya adalah sebagai bahan yang harus dipelajari peserta didik.
Dalam sejarah pendidikan di indonesia, kurikulum telah mengalami bongkar-pasang berkali-kali, yaitu pada tahun 1950 dikeluarkan kurikulum yang dikenal dengan nama "Rencana Pelajaran Terurai", kemudian pada tahun 1960 hadir kurikulum dengan nama "Kewajiban Belajar Sekolah Dasar", pada tahun 1968 ada kurikulum baru sebagai perbaikan kurikulum tahun 1950, kemudian pada tahun 1970 dikeluarkan kurikulum yang terkenal dengan nama "Kurikulum Berhitung", pada tahun 1975 dikeluarkan kurikulum yang ber-fokus pada pelajaran matematika dan PPKN, lalu pada tahun 1984 hadir kurikulum yang dikenal dengan nama "Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)", yang kemudian disempurnakan pada tahun 1994, dan pada tahun 2004 seiring dengan semangat reformasi, dibuatlah kurikulum baru yang dinamakan "Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)", dan yang terakhir pada tahun 2006 ada kurikulum yang dinamakan "Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan".
6. Pendidik (Guru)
Fungsinya adalah menyediakaan bahan, menciptakan kondisi belajar, dan menyelenggarakan pendidikan.
7. Alat Bantu Belajar
Fungsinya memungkinkan proses belajar mengajar sehingga menarik, lengkap, bervariasi dan mudah.
8. Fasilitas
Fungsinya adalah sebagai tempat terselenggaranya pendidikan.
9. Pengawasan Mutu
Fungsinya membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan (seperti peraturan penerimaan peserta didik, pemberi nilai ujian, dan memberikan kriteria-kriteria yang baku).
10. Tekhnologi
Fungsinya adalah mempermudah atau memperlancar pendidikan.
11. Penelitian
Fungsinya adalah mengembangkan pengetahuan, mengembangkan sistem, dan mengevaluasi hasil kerja sistem
12. Biaya
Fungsinya untuk melengkapi semua kebutuhan pendidikan
Tujuan Pendidikan
Menurut UU RI No.20 tahun 2003 Bab II Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab..
Karena pendidikan adalah suatu sistem, maka pelaksanaan fungsi setiap komponen pendidikan, secara keseluruhan diarahkan demi pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Pendidikan Sebagai Sistem dan Sub-Sistem
Pendidikan, selain sebagai sebuah sistem yang mempunyai komponen-komponennya, ia juga merupakan komponen dari sistem-sistem yang lain. Taruh saja misalnya; pendidikan merupakan salah satu komponen dari masyarakat, karena masyarakat adalah sistem yang lebih besar cakupannya, olehkarenanya, masyarakat di namakan supra-sistem. Maka dari itu, pendidikan bersanding dengan sistem yang lainnya, seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem keamanan, dsb, yang semuanya merupakan komponen dari supra-sistem masyarakat. Sistem pendidikan memiliki ketergantungan kepada sistem-sistem lainnya, dan saling berhubungan atau saling mempengaruhi antar sistem pendidikan dengan sistem-sistem lainnya yang ada di dalam masyarakat.
Karakter Pendidikan Sebagai Sebuah Sistem
Pendidikan sebagai sistem mempunyai karakteristik sebagai berikut;
1. Ditinjau dari asal usulnya, pendidikan tergolong ke dalam jenis sistem yang dibuat oleh manusia ( a man made system), dan bukan sistem yang dibuat oleh alam seperti sistem turunnya hujan.
2. Ditinjau dari eksistensinya ( wujudnya) maka pendidikan di golongkan pada sistem sosial.
3. Ditinjau dari segi hubungan dengan lingkungannya, pendidikan tergolong ke dalam jenis sistem terbuka.
Karena sistem pendidikan merupakan system terbuka, maka sistem pendidikan mengambil masukan (input) dari masyarakat dan memberikan hasilnya/luaran (out put) kepada masyarakat. Dalam hal ini, Philip Hall Coombs mengatakan bahwa ada tiga jenis sumber utama (input) dari masyarakat bagi pendidikan sebagai sitem, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan, tujuan-tujuan, dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat.
2. Penduduk serta tenaga kerja yang tersedia.
3. Ekonomi atau penghasilan masyarakat.
Terhadap ketiga sumber utama input pendidikan tersebut, dilakukan seleksi berdasarkan tujuan, kebutuhan, efisiensi dan relevansinya bagi pendidikan. Selain itu, seleksi dilakukan pula atas dasar nilai dan norma tertentu dengan alasan bahwa pendidikan bersifat normatif. Hasil seleksi tersebut selanjutnya diambil atau diterima sebagai input sistem pendidikan. Input sistem pendidikan dibedakan dalam tiga jenis, yaitu:
1. Input mentah (raw input), yaitu peserta didik.
2. Input alat (instrumental input) seperti: kurikulum, pendidik, dll.
3. Input lingkungan (environmental input) seperti: keadaan cuaca, situasi keamanan masyarakat dll. yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proses pendidikan.
Penutup
Dengan memakai pendekatan sebuah sistem, maka pemaknaan pendidikan dirasa luas, dan komplit, sekaligus kompleks. Sehingga tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan yidak bisa dipandang dari satu sisi saja, dan tidak dari sisi-sisi yang lainnya, misalnya, mewahnya gedung sekolah sebagai sarana pendidikan tidak bisa menjadi tolak ukur, atau jaminan akan keberhasilan pendidikan, karena bisa saja sekolah tersebut tidak memiliki guru-guru yang memadai. Demikiannlah, betapa komponen-komponen dalam pendidikan sebagai sebuah sistem itu berkaitan satu dengan lainnya.
Selanjutnya, pendidikan sebagai salah satu sistem dalam masyarakat (supra-sistem), sangat berkaitan dengan sistem-sistem lainnya dalam masyarakat. Misalnya; ada sekolah yang betul-betul berkualitas dari berbagai komponennya, baik itu sarana, kurikulum, guru, pendanaan, dsb, namun diluar sekolah sedang terjadi kerusuhan politik yang mengakibatkan siswa tidak bisa berangkat ke sekolah karena dikhawatirkan oleh kerusuhan tersebut. Dari contoh kasus sederhana itu, bisa disimpulkan bahwa pendidikan sebagai sistem, masih tetap bergantung terhadap sistem yang lainnya, yaitu sistem keamanan, seperti dalam contoh kasus di atas.
Kamis, 15 Desember 2016
Masa Depan Filsafat
Saya perkirakan sekitar 90% pertanyaan-pertanyaan filsafat yang diwariskan oleh para filosof Yunani masih tetap dalam ranah filsafat, dan kita belum menemukan bentuk sains, linguistik, atau bentuk matematis untuk menjawabnya. Lebih jauh, pertanyaan-pertanyaam filosofis akan terus-menerus keluar dan area-area baru filsafat terus tercipta. Mungkin barangkali para filosof Yunani belum menemukan beberapa masalah filosofis tertentu, sebagaimana kita telah menemukan interpretasi filosofis yang benar tentang hasil dari quantum mekanis, teori Godel atau teoretik paradoks. Para filosof Yunani belum menemukan subjek seperti subjek yang ditemukan oleh kita seperti filosofis bahasa atau filosofis ‘mind’, ini sepertinya, diakhir abad 21 pun kita akan tetap masih mempunyai masalah-masalah besar filosofis.
Karena artikel ini ditujukan untuk orang-orang yang bergelut di bidang akademis, Saya akan memulainya dengan menjelaskan beberapa perbedaan dan persamaan antara filsafat (philosophy) dan sains (science). Di sana tidak ada garis pemisah yang jelas antara keduanya. Keduanya, pada dasarnya, bersubjek universal, dan sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Walaupun di antaranya tidak ada garis pemisah yang jelas, namun, ada beberapa perbedaan yang penting dalam metode (method), gaya ( style ) dan presuposisi (presupposition). Masalah-masalah filsafat mempunyai tiga fitur (feature) yang tidak dipunyai sains. Pertama, filsafat memperhatikan pertanyaan-pertanyaan besar yang belum menemukan jawaban puas dan sistematik. Kedua, pertanyaan-pertanyaan filsafat tertuju kepada apa yang saya namakan ‘kerangka pertanyaan’ (framework of questions); pertanyaan-pertanyaan filsafat lebih tertuju pada kerangka besar yang fenomenal (large frameeworks of phenomena), daripada membuat pertanyaan-pertanyaan individu yang spesifik. Dan yang ketiga, pertanyaan-pertanyaan filsafat itu biasanya berkisar tentang isu-isu yang terkonsep; pertanyaan filsafat sering mempertanyakan konsep kita dan hubungan konsep itu dengan representasi dunia filsafat.
Perbedaan-perbedaan ini akan lebih jelas apabila kita menemukan contoh-contoh yang aktual, misalanya: Pertanyaan “Apa sebab dari kanker?” (“What is the cause of cancer?”) adalah pertanyaan sains, bukan pertanyaan filsafat. Pertanyaan “Apa sifat dasar dari hubungan sebab akibat?” (“What is the nature of causation?”) adalah pertanyaan filsafat bukan pertanyaan sains. Sama halnya dengan pertanyaan “Berapa banyak jumlah saraf transmisi disana?” (“How many neurotransmitters are there?”) adalah pertanyaan sains dan bukan pertanyaan filsafat; tapi pertanyaan “Apa hubungan antara pikiran dan tubuh?” (“What is the relationship between mind and body?”) adalah masih termasuk bagian pertanyaan filsafat. Kasus-kasus yang dipertanyakan filsafat tidak bisa diselesaikan oleh aplikasi sederhana eksperimen atau metode matematis, pertanyaan filsafat ada dalam kerangka besar, dan merangkai isu-isu yang terkonsep. Kemajuan sains yang pokok terkadang memberikan sumbangsih terhadap filsafat karena ini bisa merubah framework dan merevisi konsep. Seperti teori relativitas Einstein, adalah contoh yang jelas di abad dua puluh ini.
Karena filsafat melakukan rangkaian dalam sebuah framework dan dengan pertanyaan yang kita tidak mengetahui jawabannya secara sistematik, ini menyebabkan adanya hubungan yang unik dengan sifat-sifat sains. Secepat kita bisa merevisi dan mencari formula pertanyaan filsafat, pada akhirnya kita bisa menemukan cara untuk menjawabnya secara sistematis, ini menghentikannya dari ranah filsafat dan menjadi ranah sains. Banyak sekali terjadi dalam masalah-masalah kehidupan. Pada awalnya, masalah bagaimana “inert” (ketidak bergairahan dalam hidup) adalah masalah filosofi, terus kalau kita mencoba memahami mekanisme molekul biologi dalam kehidupan, ini bukan lagi menjadi kajian-kajian filsafat, tapi sudah menjadi materi yang dibangun fakta sains. Ini sulit bagi kita untuk mengemukakan intensitas filsafat dalam isu tertentu yang dulu diperdebatkan. Poinnya adalah bahwa tidak banyak mekanis menang dan tidak banyak vitalis kalah, tapi kita mempunyai konsep mekanisme biologi yang lebih kaya dalam kehidupan yang turun menurun. Saya harap hal yang sama terjadi dalam masalah ‘kesadaran’ (conciousness) dan hubungannya dengan proses otak. Apa yang saya tulis ini masih dianggap penting sebagai sebuah pertanyaan filsafat, tapi saya percaya dengan kemajuan mutakhir dalam neurobiologi dan filsafat kritik atas kategori-kategori tradisional dalam mental dan fisik, kita lebih dekat untuk bisa menemukan cara sains yang sistematik untuk menjawab pertanyaan ini. Seperti dalam kasus masalah kehidupan “problem of life”, ini berhenti dari kajian filsafat dan akan menjadi kajian sains. Karakter-karakter pertanyaan filsafat ini, yang selalu dalam bingkainya, dan selalu tidak berakhir dalam riset empiris yang sistematis, memunculkan pertanyaan mengapa sains selalu benar dan filsafat selalu salah. Seberapa cepat kita menemukan jawaban yang sistematis dari sebuah pertanyaan filosofis, dan mendapat jawaban yang disetujui kebenarannya oleh semua investigasi yang kompeten di bidangnya, disana kita menghentikannya dari ranah filsafat dan bergeser ke ranah sains. Perbedaan ini bukan berarti bahwa dalam filsafat apapun terjadi, bukan berarti seseorang bisa berkata apapun dan membuat spekulasi yang dia suka. Secara kontras, atau lebih tepatnya adalah karena kita tidak mempunyai bangunan empiris atau metode matematis untuk investigasi masalah-masalah filsafat, maka kita harus lebih teliti dan cermat dalam analisis filosofis.
Dari apa yang telah saya katakan, ini kelihatannya, pada akhirnya filsafat akan berhenti eksis sebagai sebuah disiplin ilmu jika kita telah menemukan bentuk sains yang sistematik dalam menjawab semua pertanyaan filsafat. Ini adalah mimpi dari para filosof, tapi Saya yakin, sejak masa Yunani kuno, kenyataanya kita belum sukses menemukan menjawab bersih semua masalah-masalah filsafat. Dalam ego generasi tertentu, setidaknya kita telah menemukan sebahagian solusinya, melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Wittgenstein, Austin dan filosof linguistik lainnya, metode yang sistematis sebagai sebuah solusi pertanyaan-pertanyaan filsafat, bagi sebahagian para filosof, ini bisa dipakai untuk menyelesaikan semua pertanyaan dalam waktu tertentu. Austin, misalnya, meyakini di sana masih ada sekitar ribuan pertanyaan filsafat yang belum mendapatkan jawaban, dan dengan riset yang sistematis, dan kita bisa menyelesaikan semua pertanyaan itu. Saya yakin semua orang percaya ini, hanya sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan filsafat yang ditinggalkan oleh para filosof kuno, yang sudah disetujui dalam bentuk solusi-solusi sains, matematika, dan linguistik. Pertanyaan tentang sifat dasar kehidupan (nature of life), saya yakin sudah selesai, dan sudah tidak menjadi kajian filosofi. Saya harap ini terjadi juga dalam apa yang dinamakan ‘masalah pikiran-tubuh’ (mind-body problem) di abad dua satu ini. Walaupun masih sangat banyak pertanyaan lain yang diajukan sejak masa Yunani kuno yang masih dalam ranah filsafat seperti; “Apa sifat dasar dari keadilan?” (“What is the nature of justice?”), “Apa yang dimaksud dengan masyarakat yang baik?” (“What is a good society?”), “Apa tujuan yang tepat dari kehidupan manusia?” ( “What is the proper aim and goal of human life?”), “Apa sifat dasar dari bahasa dan artinya?” (“What is nature of language and meaning?”), “Apa sifat dasar dari kebenaran?” (What is the nature of truth?”). Saya perkirakan sekitar 90% pertanyaan-pertanyaan filsafat yang diwariskan oleh para filosof Yunani masih tetap dalam ranah filsafat, dan kita belum menemukan bentuk sains, linguistik, atau bentuk matematis untuk menjawabnya. Lebih jauh, pertanyaan-pertanyaam filosofis akan terus-menerus keluar dan area-area baru filsafat terus tercipta. Mungkin barangkali para filosof Yunani belum menemukan beberapa masalah filosofis tertentu, sebagaimana kita telah menemukan interpretasi filosofis yang benar tentang hasil dari quantum mekanis, teori Godel atau teoretik paradoks. Para filosof Yunani belum menemukan subjek seperti subjek yang ditemukan oleh kita seperti filosofis bahasa atau filosofis ‘mind’, ini sepertinya, diakhir abad 21 pun kita akan tetap masih mempunyai masalah-masalah besar filosofis.
Diterjemahkan dari “ The Future of Philosophy”, by John R. Searle, Mills Professor of the Philosophy of Mind and Language.
Langganan:
Postingan (Atom)